Tim Gajah Mungkur Muriatama saat berlaga di Galatama. (Murianews/repro Vega Ma'arijil Ula)
Gajah Mungkur Muriatama pun akhirnya bermain di level teratas. Pada musim itu, Gajah Mungkur Muriatama bertemu tim-tim besar, di antaranya Arseto Solo milik Sigit Harjojudanto dan Pelita Jaya milik Nirwan Dermawan Bakrie.
Di musim kedua Gajah Mungkur Muriatama ditangani pelatih Daniel Roekito yang menggantikan pelatih Budiman. Di bawah polesan Daniel Roekito yang dibantu Muhadi dan Nursahid sebagai asisten pelatih, serta Haryanto sebagai pelatih kiper, Gajah Mungkur Muriatama tidak canggung bermain meski menghadapi tim besar.
Para pemain Gajah Mungkur Muriatama ditempa dengan porsi latihan keras setiap pagi dan sore. Walaupun tak pernah mencicipi gelar juara, permainan Gajah Mungkur Muriatama tak bisa dipandang sebelah mata.
’’Selama tahun 1989 hingga 1992, Gajah Mungkur Muriatama mengikuti kompetisi Galatama bersama klub-klub mentereng lainnya. Walau tidak mengukuhkan juara, setidaknya Gajah Mungkur Muriatama tidak bermain buruk selama liga,’’ kata mantan striker Gajah Mungkur Muriatama, Sutamto.
Salah satu momen paling dikenang para pemain adalah kala menumbangkan calon juara Galatama musim 1992, Pelita Jaya, di Stadion Wergu Wetan pada Minggu, 9 Februari 1992. Kala itu, Gajah Mungkur Muriatama berhasil menang tipis 1-0 atas tim tamu. Sutamto menjadi biang gagalnya Pelita Jaya yang membutuhkan poin penuh untuk menjaga peluang juara. Saat itu Arseto memimpin klasemen sementara.
Gol tunggal Sutamto memupus harapan Pelita Jaya menjadi juara musim 1992. Pelita Jaya tak mampu mengejar poin Arseto Solo yang akhirnya jadi juara musim itu. Tim milik Nirwan Bakrie akhirnya malah finish di posisi ketiga.
’’Dan penentu Pelita Jaya adalah kami, Gajah Mungkur Muriatama yang berhasil menjegal mereka. Memori itu sangat membekas sekali,’’ kenang Sutamto.
Kemenangan itu diluar dugaan para pemain Gajah Mungkur Muriatama. Sebab, Pelita Jaya saat itu dihuni sejumlah pemain berkelas macam Bambang Nurdiansyah, I Made Pasek Wijaya, Alexander Saununu, Listianto Raharja, Dony Latuperisa, dan Ansyari Lubis.
Sementara Gajah Mungkur Muriatama dihuni pemain yang kurang begitu tenar. Selain Ratmoko, Hasbullah, dan Sutamto, tim berjuluk Gagak Rimang itu juga diperkuat Ngadi Permadi serta Joko Darwanto. Kemudian, ada juga Wahab, Subagyo S, Dodo Yuniarto, Sutarman, Aris Budi Sulistyo, Yayat Hidayat, Indiarso, Efendi, Yaya Sunarya, dan Suhadi Bonding.
’’Di atas kertas kami kalah, karena Pelita Jaya banyak pemain top. Mungkin mereka meremehkan kami. Ternyata di luar dugaan Gajah Mungkur Muriatama punya semangat yang luar biasa,’’ imbuh Hasbullah, mantan bek Gajah Mungkur Muriatama.
Hasbullah juga bercerita tentang, meski bermain di liga semiprofesional, pamor klub-klub Galatama tak begitu mentereng di mata para pendukungnya. Klub-klub di kompetisi Galatama masih kalah dengan mereka yang bergabung di kompetisi perserikatan.
’’Kalau di perserikatan, atmosfer pendukungnya fanatik. Karena klub yang bermain di perserikatan kan membela daerah. Tetapi secara kualitas pemain bagus yang berlaga di Galatama,’’ kenang Hasbullah, mantan bek Gajah Mungkur Muriatama.Gengsi yang kurang baik itu bahkan diperburuk dengan maraknya dugaan praktik suap dalam laga Galatama. Dugaan praktik suap dan pengaturan skor begitu merusak citra kompetisi Galatama kala itu.’’Galatama rusak karena adanya dugaan praktik suap dan permainan skor. Terutama klub yang kaya saya dengar isunya bermain dengan uang,’’ terang Hasbullah.Maraknya dugaan praktik suap itulah yang membuat penonton Galatama makin ogah datang ke stadion. Sebab, klub kebanggaannya pasti akan kalah dengan tim yang punya modal banyak.’’Gara-gara adanya dugaan suap dan sepak bola gajah itulah penonton semakin malas untuk menonton,’’ imbuhnya.Termasuk juga kala Gajah Mungkur Muriatama menjamu Pelita Jaya. Eks Pemain Gajah Mungkur Muriatama, Ratmoko mengingat insiden sebelum laga berlangsung. Kala itu, ia sempat diiming-imingi Rp 2 juta untuk mengalah. Tentu itu jumlah yang sangat besar di era 1992. Apalagi, ia hanya mendapatkan gaji Rp 150 ribu sebulan.’’Tapi saya tolak. Kalau dipikir-pikir sekarang ya, saya ya agak kecewa, kenapa waktu itu saya tolak,’’ kenangnya sambil tertawa.Menurutnya, jika saat itu dia menerima suap itu, tidak akan ada yang curiga. Sebab, laga Gajah Mungkur Muriatama lawan Pelita Jaya bak bumi dan langit.’’Tidak ada yang mikir jika Gajah Mungkur Muriatama akhirnya yang menang. Tapi begitulah, saya kira zaman dulu pemain-pemain itu masih lugu, jujur, dan militan,’’ ujarnya sembari tertawa lagi. (Bersambung: Gajah Mungkur Muriatama dan Kiprahnya di Galatama (3/4))Sebelumnya: Gajah Mungkur Muriatama dan Kiprahnya di Galatama (1/4)Tim Liputan Khusus
Murianews, Kudus – Musim kedua keikutsertaan Gajah Mungkur Muriatama, PSSI mengubah kebijakannya. Level kompetisi Galatama disederhanakan menjadi satu divisi, yakni Divisi Utama.
Gajah Mungkur Muriatama pun akhirnya bermain di level teratas. Pada musim itu, Gajah Mungkur Muriatama bertemu tim-tim besar, di antaranya Arseto Solo milik Sigit Harjojudanto dan Pelita Jaya milik Nirwan Dermawan Bakrie.
Di musim kedua Gajah Mungkur Muriatama ditangani pelatih Daniel Roekito yang menggantikan pelatih Budiman. Di bawah polesan Daniel Roekito yang dibantu Muhadi dan Nursahid sebagai asisten pelatih, serta Haryanto sebagai pelatih kiper, Gajah Mungkur Muriatama tidak canggung bermain meski menghadapi tim besar.
Para pemain Gajah Mungkur Muriatama ditempa dengan porsi latihan keras setiap pagi dan sore. Walaupun tak pernah mencicipi gelar juara, permainan Gajah Mungkur Muriatama tak bisa dipandang sebelah mata.
’’Selama tahun 1989 hingga 1992, Gajah Mungkur Muriatama mengikuti kompetisi Galatama bersama klub-klub mentereng lainnya. Walau tidak mengukuhkan juara, setidaknya Gajah Mungkur Muriatama tidak bermain buruk selama liga,’’ kata mantan striker Gajah Mungkur Muriatama, Sutamto.
Salah satu momen paling dikenang para pemain adalah kala menumbangkan calon juara Galatama musim 1992, Pelita Jaya, di Stadion Wergu Wetan pada Minggu, 9 Februari 1992. Kala itu, Gajah Mungkur Muriatama berhasil menang tipis 1-0 atas tim tamu. Sutamto menjadi biang gagalnya Pelita Jaya yang membutuhkan poin penuh untuk menjaga peluang juara. Saat itu Arseto memimpin klasemen sementara.
Gol tunggal Sutamto memupus harapan Pelita Jaya menjadi juara musim 1992. Pelita Jaya tak mampu mengejar poin Arseto Solo yang akhirnya jadi juara musim itu. Tim milik Nirwan Bakrie akhirnya malah finish di posisi ketiga.
’’Dan penentu Pelita Jaya adalah kami, Gajah Mungkur Muriatama yang berhasil menjegal mereka. Memori itu sangat membekas sekali,’’ kenang Sutamto.
Kemenangan itu diluar dugaan para pemain Gajah Mungkur Muriatama. Sebab, Pelita Jaya saat itu dihuni sejumlah pemain berkelas macam Bambang Nurdiansyah, I Made Pasek Wijaya, Alexander Saununu, Listianto Raharja, Dony Latuperisa, dan Ansyari Lubis.
Sementara Gajah Mungkur Muriatama dihuni pemain yang kurang begitu tenar. Selain Ratmoko, Hasbullah, dan Sutamto, tim berjuluk Gagak Rimang itu juga diperkuat Ngadi Permadi serta Joko Darwanto. Kemudian, ada juga Wahab, Subagyo S, Dodo Yuniarto, Sutarman, Aris Budi Sulistyo, Yayat Hidayat, Indiarso, Efendi, Yaya Sunarya, dan Suhadi Bonding.
’’Di atas kertas kami kalah, karena Pelita Jaya banyak pemain top. Mungkin mereka meremehkan kami. Ternyata di luar dugaan Gajah Mungkur Muriatama punya semangat yang luar biasa,’’ imbuh Hasbullah, mantan bek Gajah Mungkur Muriatama.
Hasbullah juga bercerita tentang, meski bermain di liga semiprofesional, pamor klub-klub Galatama tak begitu mentereng di mata para pendukungnya. Klub-klub di kompetisi Galatama masih kalah dengan mereka yang bergabung di kompetisi perserikatan.
’’Kalau di perserikatan, atmosfer pendukungnya fanatik. Karena klub yang bermain di perserikatan kan membela daerah. Tetapi secara kualitas pemain bagus yang berlaga di Galatama,’’ kenang Hasbullah, mantan bek Gajah Mungkur Muriatama.
Gengsi yang kurang baik itu bahkan diperburuk dengan maraknya dugaan praktik suap dalam laga Galatama. Dugaan praktik suap dan pengaturan skor begitu merusak citra kompetisi Galatama kala itu.
’’Galatama rusak karena adanya dugaan praktik suap dan permainan skor. Terutama klub yang kaya saya dengar isunya bermain dengan uang,’’ terang Hasbullah.
Maraknya dugaan praktik suap itulah yang membuat penonton Galatama makin ogah datang ke stadion. Sebab, klub kebanggaannya pasti akan kalah dengan tim yang punya modal banyak.
’’Gara-gara adanya dugaan suap dan sepak bola gajah itulah penonton semakin malas untuk menonton,’’ imbuhnya.
Termasuk juga kala Gajah Mungkur Muriatama menjamu Pelita Jaya. Eks Pemain Gajah Mungkur Muriatama, Ratmoko mengingat insiden sebelum laga berlangsung. Kala itu, ia sempat diiming-imingi Rp 2 juta untuk mengalah. Tentu itu jumlah yang sangat besar di era 1992. Apalagi, ia hanya mendapatkan gaji Rp 150 ribu sebulan.
’’Tapi saya tolak. Kalau dipikir-pikir sekarang ya, saya ya agak kecewa, kenapa waktu itu saya tolak,’’ kenangnya sambil tertawa.
Menurutnya, jika saat itu dia menerima suap itu, tidak akan ada yang curiga. Sebab, laga Gajah Mungkur Muriatama lawan Pelita Jaya bak bumi dan langit.
’’Tidak ada yang mikir jika Gajah Mungkur Muriatama akhirnya yang menang. Tapi begitulah, saya kira zaman dulu pemain-pemain itu masih lugu, jujur, dan militan,’’ ujarnya sembari tertawa lagi. (Bersambung: Gajah Mungkur Muriatama dan Kiprahnya di Galatama (3/4))
Sebelumnya: Gajah Mungkur Muriatama dan Kiprahnya di Galatama (1/4)Tim Liputan Khusus